Jumat, 03 Desember 2010

Makalah Etika Profesi



DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN
1.1              Pengertian Profesi
1.2              Kode Etik Profesi
BAB II : RUMUSAN MASALAH
2.1       Kebijakan Hukum dalam upaya penanggulangan Pelanggaran Kode Etik Profesi TI
2.2       Penegakan Hukum terhadap kegiatan dan kejahatan E-Commerce Dalam Sistem Hukum Positif Di Indonesia
BAB III : PEMBAHASAN MASALAH
3.1        Kode Etik Profesi
3.2        Kebijakan Hukum dalam upaya penanggulangan Pelanggaran       Kode Etik Profesi TI
BAB IV : PENUTUP
-          Kesimpulan
-          Saran
DAFTAR PUSTAKA
 





KATA PENGANTAR

            Alhamdulillah, kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala curahan rahmat dan karunianya sehingga penyusunan makalah yang berjudul “Tinjauan Terhadap Profesi di Bidang  Teknologi Informasi Terhadap Penegakan Hukum UU ITC” dapat kami selesaikan, meskipun makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
            Makalah ini kami susun sebagai tugas kelompok untuk mata kuliah “Etika Profesi” jurusan Teknk Komputer dan juga sebagai bahan pembelajaran serta diharapkan agar dapat memperkaya bahan bacaan buat kami ataupun mahasiswa lain.
            Untuk kesempurnaan makalah ini, oleh karena itu sangat diharapkan saran, koreksi, dan masukan baik menyangkut isi maupun penulisan makalah ini. Semoga makalah yang sederhana ini dapat bearmanfaat bagi kita semua. Amin








BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Pengertian Profesi
Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal yang berkaitan dengan bidang yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga banyak orang yang bekerja tetap sesuai. Tetapi dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan kejuruan, juga belum cukup disebut profesi. Tetapi perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari praktek pelaksanaan, dan hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek.
Kita tidak hanya mengenal istilah profesi untuk bidang-bidang pekerjaan seperti kedokteran, guru, militer, pengacara, dan semacamnya, tetapi meluas sampai mencakup pula bidang seperti manajer, wartawan, pelukis, penyanyi, artis, sekretaris dan sebagainya. Sejalan dengan itu, menurut DE GEORGE, timbul kebingungan mengenai pengertian profesi itu sendiri, sehubungan dengan istilah profesi dan profesional. Kebingungan ini timbul karena banyak orang yang profesional tidak atau belum tentu termasuk dalam pengertian profesi. Berikut pengertian profesi dan profesional menurut De George :
Profesi, adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian. Profesional, adalah orang yang mempunyai profesi atau pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan suatu keahlian yang tinggi. Atau seorang profesional adalah seseorang yang hidup dengan mempraktekkan suatu keahlian tertentu atau dengan terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang menurut keahlian, sementara orang lain melakukan hal yang sama sebagai sekedar hobi, untuk senang-senang, atau untuk mengisi waktu luang.
Yang harus kita ingat dan fahami betul bahwa “PEKERJAAN / PROFESI” dan “PROFESIONAL” terdapat beberapa perbedaan :

Profesi :
Ø  Mengandalkan suatu keterampilan atau keahlian khusus.
Ø  Dilaksanakan sebagai suatu pekerjaan atau kegiatan utama (purna waktu).
Ø  Dilaksanakan sebagai sumber utama nafkah hidup.
Ø  Dilaksanakan dengan keterlibatan pribadi yang mendalam.
Profesional :
Ø  Orang yang tahu akan keahlian dan keterampilannya.
Ø  Meluangkan seluruh waktunya untuk pekerjaan atau kegiatannya itu.
Ø  Hidup dari situ.
Ø  Bangga akan pekerjaannya.

Ciri-Ciri Profesi
Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu :
1.      Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun.
2.      Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.
3.      Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi harus meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat.
4.      Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan berupakeselamatan, keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi harus terlebih dahulu ada izin khusus.
5.      Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.
Dengan melihat ciri-ciri umum profesi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa kaum profesional adalah orang-orang yang memiliki tolak ukur perilaku yang berada di atas rata-rata. Di satu pihak ada tuntutan dan tantangan yang sangat berat, tetapi di lain pihak ada suatu kejelasan mengenai pola perilaku yang baik dalam rangka kepentingan masyarakat. Seandainya semua bidang kehidupan dan bidang kegiatan menerapkan suatu standar profesional yang tinggi, bisa diharapkan akan tercipta suatu kualitas masyarakat yang semakin baik.

Syarat-Syarat Suatu Profesi :
Ø  Melibatkan kegiatan intelektual.
Ø  Menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
Ø  Memerlukan persiapan profesional yang alam dan bukan sekedar latihan.
Ø  Memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan.
Ø  Menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen.
Ø  Mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.
Ø  Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
Ø  Menentukan baku standarnya sendiri, dalam hal ini adalah kode etik.

1.2  Kode Etik Profesi
Kode yaitu tanda-tanda atau simbol-simbol yang berupa kata-kata, tulisan atau benda yang disepakati untuk maksud-maksud tertentu, misalnya untuk menjamin suatu berita, keputusan atau suatu kesepakatan suatu organisasi. Kode juga dapat berarti kumpulan peraturan yang sistematis.
Kode Etik yaitu norma atau azas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku sehari-hari di masyarakat maupun di tempat kerja. Menurut UU No.8 (Pokok-Pokok Kepegawaian)
Kode Etik Profesi adalah pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam melaksanakan tugas dan dalam kehidupan sehari-hari. Kode etik profesi sebetulnya tidak merupakan hal yang baru. Sudah lama diusahakan untuk mengatur tingkah laku moral suatu kelompok khusus dalam masyarakat melalui ketentuan-ketentuan tertulis yang diharapkan akan dipegang teguh oleh seluruh kelompok itu. Salah satu contoh tertua adalah ; Sumpah Hipokrates, yang dipandang sebagai kode etik pertama untuk profesi dokter. Hipokrates adalah doktren Yunani kuno yang digelari : Bapak Ilmu Kedokteran. Beliau hidup dalam abad ke-5 SM. Menurut ahli-ahli sejarah belum tentu sumpah ini merupakan buah pena Hipokrates sendiri, tetapi setidaknya berasal dari kalangan murid-muridnya dan meneruskan semangat profesional yang diwariskan oleh dokter Yunani ini. Walaupun mempunyai riwayat eksistensi yang sudah-sudah panjang, namun belum pernah dalam sejarah kode etik menjadi fenomena yang begitu banyak dipraktekkan dan tersebar begitu luas seperti sekarang ini. Jika sungguh benar zaman kita di warnai suasana etis yang khusus, salah satu buktinya adalah peranan dan dampak kode-kode etik ini.
Profesi adalah suatu Moral Community (Masyarakat Moral) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Kode etik profesi dapat menjadi penyeimbang segi-segi negative dari suatu profesi, sehingga kode etik ibarat kompas yang menunjukkan arah moral bagi suatu profesi dan sekaligus juga menjamin mutu moral profesi itu dimata masyarakat.
Kode etik bisa dilihat sebagai produk dari etika terapan, seban dihasilkan berkat penerapan pemikiran etis atas suatu wilayah tertentu, yaitu profesi. Tetapi setelah kode etik ada, pemikiran etis tidak berhenti. Kode etik tidak menggantikan pemikiran etis, tapi sebaliknya selalu didampingi refleksi etis. Supaya kode etik dapat berfungsi dengan semestinya, salah satu syarat mutlak adalah bahwa kode etik itu dibuat oleh profesi sendiri. Kode etik tidak akan efektif kalau di drop begitu saja dari atas yaitu instansi pemerintah atau instansi-instansi lain; karena tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam kalangan profesi itu sendiri. Instansi dari luar bisa menganjurkan membuat kode etik dan barang kali dapat juga membantu dalam merumuskan, tetapi pembuatan kode etik itu sendiri harus dilakukan oleh profesi yang bersangkutan. Supaya dapat berfungsi dengan baik, kode etik itu sendiri harus menjadi hasil Self Regulation (pengaturan diri) dari profesi.
Dengan membuat kode etik, profesi sendiri akan menetapkan hitam atas putih niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggapnya hakiki. Hal ini tidak akan pernah bisa dipaksakan dari luar. Hanya kode etik yang berisikan nilai-nilai dan cita-cita yang diterima oleh profesi itu sendiri yang bis mendarah daging dengannya dan menjadi tumpuan harapan untuk dilaksanakan untuk dilaksanakan juga dengan tekun dan konsekuen. Syarat lain yang harus dipenuhi agar kode etik dapat berhasil dengan baik adalah bahwa pelaksanaannya di awasi terus menerus. Pada umumnya kode etik akan mengandung sanksi-sanksi yang dikenakan pada pelanggar kode etik.

Sanksi Pelanggaran Kode Etik:
a.       Sanksi moral
b.      Sanksi dikeluarkan dari organisasi
Kasus-kasus pelanggaran kode etik akan ditindak dan dinilai oleh suatu dewan kehormatan atau komisi yang dibentuk khusus untuk itu. Karena tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis, seringkali kode etik juga berisikan ketentuan-ketentuan profesional, seperti kewajiban melapor jika ketahuan teman sejawat melanggar kode etik. Ketentuan itu merupakan akibat logis dari self regulation yang terwujud dalam kode etik; seperti kode itu berasal dari niat profesi mengatur dirinya sendiri, demikian juga diharapkan kesediaan profesi untuk menjalankan kontrol terhadap pelanggar. Namun demikian, dalam praktek seharihari control ini tidak berjalan dengan mulus karena rasa solidaritas tertanam kuat dalam anggota-anggota profesi, seorang profesional mudah merasa segan melaporkan teman sejawat yang melakukan pelanggaran. Tetapi dengan perilaku semacam itu solidaritas antar kolega ditempatkan di atas kode etik profesi dan dengan demikian maka kode etik profesi itu tidak tercapai, karena tujuan yang sebenarnya adalah menempatkan etika profesi di atas pertimbangan-pertimbangan lain. Lebih lanjut masing-masing pelaksana profesi harus memahami betul tujuan kode etik profesi baru kemudian dapat melaksanakannya.
Kode Etik Profesi merupakan bagian dari etika profesi. Kode etik profesi merupakan lanjutan dari norma-norma yang lebih umum yang telah dibahas dan dirumuskan dalam etika profesi. Kode etik ini lebih memperjelas, mempertegas dan merinci norma-norma ke bentuk yang lebih sempurna walaupun sebenarnya norma-norma tersebut sudah tersirat dalam etika profesi. Dengan demikian kode etik profesi adalah sistem norma atau aturan yang ditulis secara jelas dan tegas serta terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar dan apa yang salah dan perbuatan apa yang dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang professional.

Tujuan Kode Etik Profesi:
  1. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi.
  2. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota.
  3. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi.
  4. Untuk meningkatkan mutu profesi.
  5. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi.
  6. Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi.
  7. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
  8. Menentukan baku standarnya sendiri.
Adapun fungsi dari kode etik profesi adalah :
1.      Memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan.
2.      Sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan.
3.      Mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Etika profesi sangatlah dibutuhkan dlam berbagai bidang.
Kode etik yang ada dalam masyarakat Indonesia cukup banyak dan bervariasi. Umumnya pemilik kode etik adalah organisasi kemasyarakatan yang bersifat nasional, misalnya Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), kode etik Ikatan Penasehat Hukum Indonesia, Kode Etik Jurnalistik Indonesia, Kode Etik Advokasi Indonesia dan lain-lain. Ada sekitar tiga puluh organisasi kemasyarakatan yang telah memiliki kode etik.
Suatu gejala agak baru adalah bahwa sekarang ini perusahaan-perusahan swasta cenderung membuat kode etik sendiri. Rasanya dengan itu mereka ingin memamerkan mutu etisnya dan sekaligus meningkatkan kredibilitasnya dan karena itu pada prinsipnya patut dinilai positif
BAB II
RUMUSAN MASALAH

2.1    Kebijakan Hukum dalam upaya penanggulangan Pelanggaran Kode Etik Profesi TI
Kejahatan Komputer adalah bentuk kejahatan yang menimbulkan dampak yang sangat luas karena tidak saja dirasakan secara nasional tetapi juga internasional, oleh sebab itu wajar apabila dikatagorikan sebagai kejahatan yang sifatnya internasional berdasarkan United Nation Convention Against Transnational Organized Crime (Palermo Convention, November 2000 dan Deklarasi ASEAN 20 Desember 1997 di Manila). Banyak permasalahan hukum yang muncul ketika kejahatan dunia maya dapat diungkap oleh aparat penegak hukum, Yurisdiksi merupakan hal yang sangat crucial dan kompleks berkenaan dengan hal tersebut.
Hukum internasional telah meletakkan beberapa prinsip umum yang berkaitan dengan yuridiksi suatu negara, diantaranya:
Ø  Prinsip Teritorial, setiap negara dapat menerapkan yurisdiksi nasionalnya terhadap semua orang baik warga negara atau asing.
Ø  Prinsip Nasional Aktif, setiap negara dapat memberlakukan yuridiksi nasionalnya terhadap warga negaranya yang melakukan tindak pidana sekalipun dilakukan dalam yurisdiksi negara lain.
Ø  Prinsip Nasional Pasif, merupakan counterpart dari prinsip nasional aktif, tekanannya ada pada kewarganegaraan si korban.
Ø  Prinsip Perlindungan, setiap negara mempunyai kewenangan melaksanakan yurisdiksi terhadap kejahatan yang menyangkut keamanan dan integritas atau kepentingan ekonomi yang vital.
Ø  Prinsip Universal, suatu negara dapat menyatakan mempunyai hak untuk memberlakukan hukum pidananya dengan alasan terdapat hubungan antara negara tersebut dengan tindak pidana yang dilakukan.
Bentuk penanggulangan pelanggaran Kode Etik Profesi IT, beberapa asosiasi atau organisasi dan negara telah memiliki bentuk perundangan, berikut beberapa contoh perundangan tersebut :
A.    Kode Etik Profesi IT produk dari Asosiasi atau Organisasi :
1.      IFIP (International Federation for Information Processing)
2.      ACM (Association for Computing Machinery)
3.      ASOCIO (Asian Oceaniq Computer Industries Organization)
B.     Kode Etik Profesi IT produk dari Negara:
1.      Malaysian Computer Society (Code of Profesional Conduct)
2.      Australian Computer Society (Code of Conduct)
3.      New Zealand Computer Society (Code of Ethics and Profesional Conduct)
4.      Singapore Computer Society (Profesional Code of Conduct)
5.      Computer Society of India (Code of Ethics of IT Profesional)
6.      Philipine Computer Society Code of Ethics)
7.      Hong Kong Computer Society (Code of Conduct)

Mulder mengemukakan bahwa kebijakan hukum pidana ialah garis kebijakan untuk menentukan :
Ø  Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dirubah atau diperbaharui.
Ø  Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
Ø  Bagaimana cara penyelidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
Selama ini fenomena kejahatan komputer masih menjadi perdebatan diantara pakar hukum, ada yang berpendapat bahwa hukum pidana positif (KUHP dan KUHAP) tidak dapat menjangkau kejahatan ini, sebagian berpendapat sebaliknya. Pengaturan mengenai kejahatan komputer belum secara tegas dan jelas diatur dalam KUHP, KUHAP dan undang – undang nomor 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi. Pasal 184 ayat 1 KUHAP secara definitive membatasi alat bukti hanyalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa saja.
Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta Basrief Arief dalam sebuah Simposium HaKI 2001 di Jakarta menyatakan “Sampai saat ini pemerintah Indonesia belum memiliki perangkat perundangan yang mengatur ikhwal pelanggaran hak cipta di dunia internet” Harian Republika, 14 November 2001, mengenai ketiadaan undang -undang Kejahatan Komputer berdasarkan asas legalitas dalam sistem hukum pidana di Indonesia, pasal 1 ayat 1 KHUP ditentukan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya. Maka kepada pelaku Kehatan Komputer diIndonesia belum dapat dijerat dengan hukum. Akan tetapi pemerintah dan masyarakat tetap melakukan upaya-upaya diantaranya :
  • Memoderinisasi KUHP
  • Menyusun RUU Teknologi Informasi (Draf III) oleh UNPAD, yang rencananya diserahkan kepada Depkominfo

2.2  Penegakan Hukum terhadap kegiatan dan kejahatan E-Commerce Dalam Sistem    Hukum Positif Di Indonesia
Pembentukan peraturan perundang-undangan di dunia cyber berpangkal pada keinginan masyarakat untuk mendapatkan jaminan keamanan, keadilan dan kepastian hukum. Sebagai norma hukum cyber atau cyberlaw akan menjadi langkah general preventif atau prevensi umum untuk membuat jera para calon-calon penjahat yang berniat merusak citra teknologi informasi Indonesia dimana dunia bisnis Indonesia dan pergaulan bisnis internasional.
Penegak hukum di Indonesia mengalami kesulitan dalam menghadapi merebaknya cybercrime khususnya kejahatan e-commerce. Banyak faktor yang menjadi kendala, oleh karena itu aparatur penegak hukum harus benar-benar menggali, menginterpretasi hukum-hukum positif yang ada sekarang ini yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku kejahatan e-commerce.
Penyelidikan dan penyidikan selalu mengalami jalan buntu dan atau tidak tuntas dikarenakan beberapa hal, yang terutama adalah terbatasnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh penegak hukum, karena penanganan kejahatan ini memerlukan keterampilan khusus dari penegak hukum.
Dalam menghadapi perkembangan di masyarakat, yang didalamnya termasuk juga tenologi, RUU KUHP tampak menyadari, hal ini ternyata dalam ketentuan pasal 1 Ayat (3). Dalam konsep RUU KUHP 1991/1992 Pasal 1 ayat (1) masih mempertahankan asas legalitas. Pada ayat (3) bunyinya : “ketentuan dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan”.
Dari hal tersebut, maka dapatlah dilihat bahwa ada kejahatan yang dapat dijerat dan ada yang tidak, maka diperlukan adanya keberanian hakim untuk menafsirkan undang-undang, walaupun hakim selalu dibayang-gayangi oleh pasal 1 KUHP, namun hakim tidak boleh menolak setiap perkara yang telah masuk ke pengadilan.
Dalam Undang-Undang kekuasaan kehakiman, tertera jelas bahwa hakim sebagai penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dimasyarakat. Dari ketentuan ini sesungguhnya mendorong bahkan memberikan justifikasi untuk interpretasi atau penafsiran terhadap ketentuan undang-undang, bahkan ada ancaman bila menolak dapat dituntut (dihukum). Dalam mengisi kekosongan Hukum, hakim untuk sementara dapat melakukan interpretasi.

Mengingat kejahatan e-commerce merupakan salah satu kejahatan baru dan canggih, maka wajar saja dalam penegakan hukumnya masih mengalami beberapa kendala yang apabila tidak segera ditangani maka akan memberikan peluang bagi pelaku kejahatan bisnis yang canggih ini untuk selalu mengembangkan “bakat” kejahatannya di dunia maya khususnya kejahatan e-commerce. Beberapa kendala tersebut antara lain:
a.       Pembuktian (bukti elektrik): Persoalan yang muncul adalah belum adanya kebulatan penafsiran terhadap kepastian dari alat bukti elektrik ini dikarenakan alat bukti ini mudah sekali untuk di copy, digandakan atau bahkan dipalsukan, dihapus atau dipindahkan. Walaupun mengacu pada Pasal 5 Undang-Undang ITE telah jelas menyebutkan mengenai alat bukti ini, namun masih saja aparat penegak hukum susah untuk mendapatkan alat bukti yang otentik
b.      Perbedaan Persepsi: Perbedaan persepi yang dimaksud adalah bahwa terjadinya perbedaan antara penegak hukum dalam menafsirkan kejahatan yang terjadi dengan penerapan pasal-pasal dalam hukum positif yang belaku sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan
c.       Lemahnya penguasaan computer: Kurangnya kemampuan dan keterampilan aparat penegak hukum dibidang komputer yang mengakibatkan taktis, teknis penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan tidak dikuasai karena menyangkut sistem yang ada didalam komputer.
d.      Sarana dan prasarana: Fasilitas komputer mungkin memang ada di setiap kantor-kantor para penegak hukum, namun hanya sebatas berfungsi untuk mengetik saja, sedangkan kejahatan e-commerce ini dilakukan dengan menggunakan komputer yang berjaringan dan berkapasitas teknologi yang lumayan maju sehingga pihak aparat sulit untuk mengimbangi kegiatan para pelaku kejahatan tersebut.

e.       Kesulitan Menghadirkan korban: Terhadap kejahatan yang korbannya berasal dari loar negeri umumnya sangat sulit untuk melakukan pemeriksaan yang mana keterangan saksi korban sangat dibutuhkan untuk membuat sebuah berita acara pemeriksaan.
Menurut Ahmad P Ramli (2005: 55-56) Terkait dengan penentuan hukum yang berlaku, dikenal adanya beberapa asa yang biasa digunakan, yaitu :
a.       Subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum pidana ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
b.      Objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah dimana akibat utamanya perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.
c.       Nationality, yang menentukan bahwa negara mempunyai yurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku tindak pidana.
d.      Passive nationality, yang menekankan yurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan dari korban kejahatan.
e.       Protective principle, yang menyatakan bahwa belakunya hukum didasarkan atas keinginnan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan diluar wilayahnya. Azas ini pada umumnya diterapkan apabila korbannya adalah negara atau pemerintah.
f.       Universalitity, bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum pelaku kejahatan.




BAB III
PEMBAHASAN MASALAH

3.1  Kode Etik Profesi
Kode yaitu tanda-tanda atau simbol-simbol yang berupa kata-kata, tulisan atau benda yang disepakati untuk maksud-maksud tertentu, misalnya untuk menjamin suatu berita, keputusan atau suatu kesepakatan suatu organisasi. Kode juga dapat berarti kumpulan peraturan yang sistematis.
Kode Etik yaitu norma atau azas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku sehari-hari di masyarakat maupun di tempat kerja. Menurut UU No.8 (Pokok-Pokok Kepegawaian)
Kode Etik Profesi adalah pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam melaksanakan tugas dan dalam kehidupan sehari-hari. Kode etik profesi sebetulnya tidak merupakan hal yang baru. Sudah lama diusahakan untuk mengatur tingkah laku moral suatu kelompok khusus dalam masyarakat melalui ketentuan-ketentuan tertulis yang diharapkan akan dipegang teguh oleh seluruh kelompok itu.

3.2   Kebijakan Hukum dalam upaya penanggulangan Pelanggaran Kode Etik Profesi TI
Kejahatan Komputer adalah bentuk kejahatan yang menimbulkan dampak yang sangat luas karena tidak saja dirasakan secara nasional tetapi juga internasional, oleh sebab itu wajar apabila dikatagorikan sebagai kejahatan yang sifatnya internasional berdasarkan United Nation Convention Against Transnational Organized Crime (Palermo Convention, November 2000 dan Deklarasi ASEAN 20 Desember 1997 di Manila). Banyak permasalahan hukum yang muncul ketika kejahatan dunia maya dapat diungkap oleh aparat penegak hukum, Yurisdiksi merupakan hal yang sangat crucial dan kompleks berkenaan dengan hal tersebut.



BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Setelah Mengetahui pembelajaran etika profesi Bentuk penanggulangan pelanggaran Kode Etik Profesi IT, beberapa asosiasi atau organisasi dan negara telah memiliki bentuk perundang-undangan tersendari, , yang menekankan bahwa keberlakuan hukum pidana ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
Menentukan bahwa negara mempunyai yurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku tindak pidana menyatakan bahwa belakunya hukum didasarkan atas keinginnan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan diluar wilayahnya. Azas ini pada umumnya diterapkan apabila korbannya adalah negara atau pemerintah.
Bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum pelaku kejahatan.

Saran
Untuk mengatasi maraknya pelanggaran hak cipta tentunya berawal dari membangun budaya masyarakat untuk menghargai hak cipta orang lain.
Pemerintah, baik dari instansi-instansi terkait, jajaran penegak hokum dan segenap lapisan masyarakat hendaknya sepakat untuk bersama-sama memerangi pembajakan terhadap karya-karya orang intelektual karena pembajakan karya intelektual merupakan perbuatan yang merugikan perekonomian bangsa.




DAFTAR PUSTAKA





2 komentar: